Nilai dan Prinsip yang Diwariskan

Sistem nilai yang melandasi pembangunan masyarakat Indonesia sebagaimana tersirat dalam Pancasila dan kemudian dijabarkan dalam UUD 1945 tidak akan berubah meskipun lingkungan masyarakat Indonesia telah mengalami kemajuan dan perkembangan baik dalam bidang teknologi, informasi, maupun komunikasi.
Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup bangsa Indonesia (Staatsgrundnorm) menjadi pedoman bagaimana kita bertindak dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Bangsa Indonesia tidak menolak kemajuan, tetapi sebagai bangsa yang berbudi luhur, seharusnya Pancasila dijadikan filter dari segala upaya memasukkan ajaran-ajaran ataupun faham-faham yang datangnya dari dunia luar.
Suhady dan Sinaga (2006) mengemukakan bahwa nilai-nilai dan prinsipprinsip yang diwariskan mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Nilai-nilai 1945
(1). Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 penjelmaan falsafah dan pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945.
(2). Lima sila dalam Pancasila merupakan nilai-nilai intrinsik yang abstrak umum universal tetap tak berubah terlepas dari perubahan dan perkembangan zaman dan kelimanya merupakan kesatuan yang bulat.
(3). Nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Negara Kesatuan, tujuan negara, negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, negara berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, negara yang merdeka dan berdaulat, dan anti penjajahan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
b) Prinsip penjelmaan Pancasila yang telah mendapatkan kesepakatan seluruh rakyat, yaitu:
(1). Prinsip-prinsip yang tercantum dalam UUD 1945, misalnya; bentuk negara, sistem sosial budaya, sistem politik, dan sebagainya.
(2). Prinsip yang lahir dari perjuangan mencapai, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, yaitu rasa senasib sepenanggungan dan rasa persatuan yang kuat; mempertahankan dan mengembangkan kepribadian bangsa Indonesia yang berakar pada sejarah dan kebudayaan bangsa; mengambil segi positif dari kebudayaan bangsa lain yang bermanfaat untuk pembangunan bangsa dan negara; merasa ikut memiliki, rasa kekeluargaan dan prinsip hidup gotong royong.

Jiwa dan Makna Perjuangan

Wawasan Kebangsaan
Jiwa perjuangan telah terpateri dalam semangat setiap bangsa Indonesia sejak bangsa ini berjuang membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Jiwa perjuangan membentuk sifat mental yang mengandung moral yang luhur. Sifat mental yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur yang berkembang sejak masa perjuangan hingga saat ini, tidak mengenal kata menyerah dalam berjuang dan dilandasi rasa cinta tanah air, serta ikhlas dalam membela kepentingan nasional.
Nilai-nilai bangsa yang luhur yang sadar akan pentingnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa untuk membina prinsip berani berkorban, serta wajar dan jujur dalam bertindak dan ikut aktif berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan membela kepentingan nasional.
Menurut Suhady dan Sinaga (2006), sifat mental yang mengandung moral nasional yang luhur dilandasi oleh:
a) Jiwa merdeka, yaitu jiwa yang sadar akan kemampuan sendiri tanpa ketergantungan pada negara lain dan memiliki martabat yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
b) Jiwa persatuan dan kesatuan, yaitu sadar akan pentingnya rasa pesatuan dan kesatuan bangsa.
c) Jiwa konsekwen tanpa pamrih dan sederhana, yaitu sadar untuk membela prinsip-prinsip, berani berkorban serta wajar dan jujur dalam bertindak.
d) Jiwa kokoh yang tak kenal menyerah, sadar membela nilai-nilai luhur, berinisiatif dan tak kenal menyerah.
e) Jiwa propatria, yaitu mempunyai rasa cinta yang besar terhadap tanah air.
f) Jiwa kepeloporan dan kepemimpinan, yaitu ikut aktif dalam berjuang dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
g) Jiwa keikhlasan berjuang, yaitu ikhlas dalam membela kepentingan nasional.

Hakikat Mempelajari Perjuangan Bangsa

Wawasan Kebangsaan
Suhady dan Sinaga (2006) menyatakan bahwa hakekat mempelajari dan menghayati sejarah perjuangan bangsa adalah upaya membangkitkan kesadaran nasional yang mengandung tiga dimensi, yaitu:
a) Peristiwa nasional di masa lampau;
b) Situasi nasional di masa lampau;
c) Aspirasi nasional di masa mendatang.
Bung Karno pernah membuat ungkapan “Jasmerah”, singkatan dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya. Bangsa yang bijak adalah bangsa yang mengenal sejarahnya. Mengapa kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh melupakan sejarah dan harus mengenal sejarah kita sendiri? Karena ada perkataan bijak yang mengatakan "history repeats itself", sejarah itu berulang kembali. Hal yang pernah terjadi di masa lampau, suatu saat akan terjadi kembali dengan variasi yang berbeda tetapi esensinya sama. Manusia yang bijak adalah manusia yang belajar dari masa lalu dan tidak mengulangi kesalahan para pendahulunya.
Selain itu, dengan mempelajari catatan sejarah, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki sebagai bangsa. Betapa besar perjuangan para pahlawan untuk merebut kemerdekaan dengan mengorbankan harta dan nyawa, berjuang tanpa pamrih. Semua itu harus kita sadari, hormati, dan kita jadikan teladan dalam hidup.
Hakikat mempelajari sejarah adalah agar kita semua dapat belajar dari pengalaman sejarah. Dengan bercermin dari pengalaman perjuangan bangsa tersebut dapat dijadikan pelajaran bagaimana semangat para pahlawan dalam upaya mengubah kondisi dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka, bermartabat, dan diakui sejajar dengan bangsa-bangsa merdeka di dunia.
Semangat nasionalisme berperan penting bagi suatu negara. Maju mundurnnya suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar semangat nasinalisme yang dimiliki. Apabila suatu negara ingin tetap bersatu dan maju, maka semangat nasionalisme harus dimiliki oleh setiap warga negara pada umumnya, dan generasi muda pada khususnya, mengingat generasi muda adalah generasi penerus bangsa, penentu perjalanan bangsa di masa selanjutnya. Kita menyadari bahwa generasi muda mempunyai kelebihan pemikiran, semangat, serta sifat kritisnya, namun kelebihan tersebut masih kurang jika tidak diiringi dengan semangat nasionalisme. Generasi muda harus mempunyai sikap bangga terhadap bangsanya, semangat kebersamaan, mengakui pengalaman sejarah dan kebudayaan bersama, serta terikat pada adat dan tradisi. Jika generasi pemuda menyadari pentingnya nasionalisme tersebut, maka jalan untuk memperbaiki kondisi negara kita akan semakin terbuka lebar.
Dengan demikian sebagaimana dinyatakan oleh Suhady dan Sinaga (2006) di atas, bahwa kemampuan pandang dari tiga dimensi tersebut harus dimiliki sehingga perjuangan bangsa Indonesia membimbing dan menjadi edukasi dan inspirasi bagi perjuangan selanjutnya.
Wawasan Kebangsaan

Nilai-nilai Kejuangan

Dari segi semantik nilai-nilai kejuangan terdiri dari dua istilah yaitu “Nilai” dan “Kejuangan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2002, “Nilai” memiliki arti: (1) harga (dalam arti taksiran harga), (2) angka kepandaian; biji; ponten. Sedang “Kejuangan” berarti, (1) perihal berjuang; (2) berhubungan dengan urusan berjuang. wawasan kebangsaan
Dengan demikian nilai kejuangan adalah konsep yang berkenaan dengan sifat, mutu, keadaan yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan yang menyangkut perihal perang, kelahi, lawan, dan laga. Kata nilai kejuangan dikenakan terhadap konsepsi abstrak, anutan, faham dan pendorong yang menyebabkan orang dapat berperang, berkelahi, berlawan dan berlaga, sehingga bermanfaat bagi dirinya untuk menang (Suhady dan Sinaga, 2006).

Baca selengkapnya tentang wawasan kebangsaan di >> Wawasan Kebangsaan Indonesia

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nilai kejuangan dimaksudkan untuk menggambarkan daya pendorong, pelawan, dan pendobrak yang mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan dirinya dan penjajahan dan bebas merdeka. Nilai kejuangan diletakkan pada upaya selama bergenerasi-generasi untuk mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan seperti ini dimiliki oleh generasi pra 45 dan generasi 45. Nilai kejuangan ini mewaris terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya (Suhady dan Sinaga, 2006).
Semangat juang 45, adalah semangat untuk berjuang bersama tanpa pamrih mengusir penjajah. Setelah merdeka semangat kejuangan itu tetap relevan guna membangun segala sesuatu yang dicita-citakan, yaitu memberantas kemiskinan, kebodohan, menegakkan kehidupan bersama yang jujur, melawan korupsi dan ketidakadilan merupakan sebuah “maha karya” dalam upaya membangun karakter bangsa (nation and character building). Nilai-nilai kejuangan Angkatan 45 di tengahtengah kehidupan yang semakin kompleks dewasa ini memang dirasakan kian kehilangan makna. Peringatan untuk mengenang perjuangan mereka yang telah menyerahkan jiwa-raga demi kejayaan bangsa, nyaris tidak lagi menarik minat generasi muda.
Generasi penerus bangsa sekarang ini sebagai pelaksana cita-cita pahlawan agar bentuk NKRI tetap utuh dibawah panji Pancasila dan UUD 1945 harus mewarisi semangat juang para leluhur yang dengan segala daya upaya rela berkorban demi masa depan bangsa. Sebagai generasi penerus bangsa harus memiliki tekad dan semangat nilai-nilai juang 45 agar tidak gampang terbawa arus yang sudah mulai memasuki sendi-sendi kehidupan generasi muda.Wawasan Kebangsaan

Konsep Negara Integralistik

Dalam konsep negara integralistik, yang diadasarkan pada ide Spinoza, Adam Muller, dan Hegel, negara tidak untuk menjamin kepentingan individu maupun kepentingan golongan tertentu, tetapi untuk menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan yang integral. Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat yang organis dan tersusun secara integral. Di dalamnya, segala golongan, bagian, dan individu berhubungan erat satu sama lain. 
Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pemimpin dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini cocok dengan alam pikiran ketimuran dan prinsip tersebut didasarkan pada struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di desa-desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri (Marsillam Simanjuntak, 1997). Struktur sosial Indonesia meliputi aliran pikiran dan semangat kebatinan. Struktur kerokhanian bersifat persatuan hidup antara persatuan kawulo-gusti. Persatuan dunia luar dan dunia batin, persatuan mikrokosmos dan makrokosmos. Persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide atau konsep negara integralistik. 
Dalam Susunan persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat gotong-royong dan kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa Indonesi. Hakekat Republik Indonesia adalah Republik Desa yang besar dengan unsur dan wawasan yang modern. Konsep negara integralistik yang ditawarkan oleh Prof. Soepomo dalam sidang BPUPKI tersebut tidak begitu saja diterima oleh peserta sidang, seperti Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Mohammad Yamin yang menentang usulan tersebut. Mereka menuntut agar hak warga negara dijamin oleh Konstitusi. Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin khawatir ide negara integralistik yang ditawarkan oleh Soepomo tersebut akan memberi celah bagi timbulnya negara kakuasaan. Kekhawatiran mereka akhirnya membawa pada jalan kompromi dengan diberikannya jaminan kepada warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat, yang kemudian dimasukkan dalam pasal 28 UUD 1945.

Teori Perseorangan J.J. Rousseau

Teori Perseorangan atau Teori Individualistik J.J. Rousseau dalam bukunya “du Contract Social” mengemukakan bahwa negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh individu dalam msayarakat untuk menjamin hak-hak individu dalam masyarakat. Penganut teori ini adalah: Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer, dan Laski.

Teori Pertentangan Kelas atau Teori Golongan

Wawasan Kebangsaan
Menurut teori ini, negara merupakan alat dari suatu golongan yang kuat untuk menindas golongan yang lemah. Dalam teori ini negara mempertentangkan antara golongan yang kuat dengan golongan yang lemah, dimana golongan yang kuat dengan menggunakan kekuasaan negara dapat menindas golongan yang lemah. Penganut teori ini adalah: Karl Marx, Engels, dan Lennin.

Konsep Negara Integralistik

Dalam subbab ini perlu diuraikan sedikit mengenai makna “Integralistik”, untuk membedakan dengan “Integrasi”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2002, kata “Integralistik” berasal dari kata “Integral” (a = ajective = kt. sifat), berarti (1) mengenai keseluruhan; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap; utuh; bulat; sempurna; (2) tidak terpisahkan; terpadu. Sedangkan “Integralistik” memiliki makna “bersifat integral; merupakan satu keseluruhan”. Dalam subbab ini akan dibahas makna “Integralistik” dalam kaitannya dengan sistem kenegaraan, khususnya yang berlaku di Negara Indonesia.
Berkaitan dengan sistem kenegaraan, salah seorang pendiri negara (founding fathers) kita, Prof. Dr. Mr. Soepomo petama kali melontakan gagasan mengenai konsep negara integralistik dalam sidang BPUPKI, 31 Mei 1945 sebagai sebagai ajaran yang cocok dengan aliran pikiran ketimuran dan cita-cita kenegaraannya sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, yaitu ajaran Spinoza, Adam Muller, dan Hegel (Marsillam Simanjutak, 1997). Sebaliknya, Adnan Buyung Nasution dalam desertasinya Tahun 1992 menyatakan bahwa ide negara integralistik yang dilontarkan oleh Soepomo tersebut lebih dipengaruhi oleh kehadiran Jepang daripada ahli filsafat barat tersebut (Adnan Buyung Nasution, 1995).
Pemikiran Prof. Dr. Mr. Soepomo tentang konsep negara integralistik atau faham negara kekeluragaan tersebut menurut banyak kalangan sangat berpengaruh dalam perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disusun kemudian.
Dalam pidatonya dihadapan Sidang Umum BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 di Gedung Chuo Sangi In, Jl. Pejambon No. 6 Jakarta Pusat, Prof. Soepomo menawarkan tiga teori tentang dasar dan prinsip negara sebagai alternatif di dalam pembentukan negara Indonesia kelak.

Integrasi Nasional Indonesia dan Permasalahannya

Wawasan Kebangsaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2002, kata “Integrasi” (n = noun = kt. Benda) memiliki makna pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Sedangkan “Nasional” (a = ajective = kt. sifat), mempunyai arti (1) bersifat kebangsaan; (2) berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; (3) meliputi suatu bangsa. Dengan demikian “Integrasi Nasional” dapat diartikan “pembauran atau penyatuan berbagai elemen dalam masyarakat yang memiliki perbedaan baik dari segi etnis, sosial, budaya, atau latar belakang ekonomi hingga menjadi satu kesatuan bangsa yang utuh”.
Secara umum integrasi nasional mencerminkan proses persatuan orangorang dari berbagai wilayah yang berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitis, sosial budaya, atau latar belakang ekonomi, menjadi satu bangsa terutama karena pengalaman sejarah dan politik yang relatif sama. Proses pembentukan integrasi bangsa telah dimulai dengan lahirnya semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, suatu semboyan yang dapat membangkitkan semangat kebersamaan, persatuan dalam bingkai negara kesatuan Indonesia, meskipun terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda. Namun demikian harus diakui bahwa kita masih menyimpan banyak masalah yang harus diselesaikan, dan kita meninggalkan luka yang masih menyakitkan pada diri kita sebagai bangsa yang harus kita sembuhkan:
(1). Masalah pertama adalah membangun kembali integrasi vertikal antara pusat dan daerah, antara elite dan massa yang mengalami distorsi.
(2). Masalah kedua penyembuhan bagi luka-luka bangsa atas kekerasan dan ketidak adilan yang dilakukan pemerintah atas nama Negara.
(3). Masalah ketiga membangun integrasi horizontal dibidang sosial budaya.
Seperti dinyatakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (2009) bahwa kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) nasional agaknya berangkat dari kondisi di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian. Gelombang reformasi telah menimbulkan berbagai kecederungan dan realitas baru, seperti dihujat dan dibongkarnya format politik Orde Baru, munculnya aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai politik baru, lahirnya tuntutan daerah di luar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka sendiri, serta terjadinya konflik dan benturan antara etnik dengan segala permasalahannya. Saat negeri ini belum bisa mengatasi krisis nasional yang masih berlangsung, terutama krisis ekonomi, fenomena politik dewasa ini telah benar-benar meningkatkan derajat kekhawatiran atas kukuhnya integrasi nasional kita.

Pengertian Integrasi Nasional

Sebagai suatu bangsa yang sadar akan pentingnya arti integrasi nasional dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh para founding fathers, maka sebagai generasi muda penerus cita-cita tersebut, layaklah kiranya jikalau kita menyadari arti dan makna pentingnya integrasi nasional sebagai upaya menjaga stabilitas guna mensukseskan pembangunan nasional
Pengertian Integrasi Nasional
Istilah integrasi nasional terdiri dari dua unsur kata, yakni “integrasi” dan “nasional”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2002, dikemukakan bahwa istilah integrasi mempunyai pengertian “pembauran atau penyatuan hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat”. Sedangkan istilah “nasional” mempunyai pengertian:
(1). bersifat kebangsaan;
(2). berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri;
(3). meliputi suatu bangsa, misalnya cita-cita nasional; tarian nasional, perusahaan nasional, dan sebagainya.
Mengacu pada penjelasan kedua istilah di atas maka integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional atau bangsa yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan kesimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa (Suhady dan Sinaga, 2006).
Claude Ake dalam Nazaruddin Syamsudin (1994) mengemukakan bahwa integrasi nasional pada dasarnya mencakup dua masalah pokok, yaitu:
Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan-tuntutan negara, yang mencakup perkara pengakuan rakyat terhadap hak-hak yang dimiliki negara;

Baca selengkapnya tentang wawasan kebangsaan di sini>> WAWASAN KEBANGSAAN

Negara Kesatuan

Negara kesatuan: Suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang berkuasa satu pemerintah pusat yang mengatur seluruh daerah secara totalitas.

Teori Hukum Alam

Wawasan Kebangsaan
Para penganut teori hukum alam menganggap adanya hukum yang berlaku abadi dan universal (tidak berubah, berlaku di setiap waktu dan tempat). Hukum alam bukan buatan negara, melainkan hukum yang berlaku menurut kehendak alam. Menurut penganut teori ini, bahwa Negara terbentuk melalui proses yang sederhana, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Keluarga → Kelompok → Desa → Kota/Negara
Penganut Teori Hukum Alam antara lain:
 Masa Purba: Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM)
 Masa Abad Pertengahan: Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino
(1226-1234)
 Masa Renaissance: para penganut teori Perjanjian Masyarakat (JJ. Rousseau, John Locke, Thomas Hobes, Grotius, dan Immanuel Kant).
Dengan mengutip kata Grotius, Arief Budiman (2002), menyatakan bahwa negara terjadi karena suatu persetujuan, karena tanpa negara orang tak dapat menyelamatkan dirinya dengan cukup. Dari persetujuan itu lahirlah kekuasaan untuk memerintah. Kekuasaan tertinggi untul memerintah ini dinamakan kedaulatan. Kedaulatan itu dipegang oleh orang yang tidak tunduk pada kekuasaan orang lain, sehingga ia tidak dapat diganggu gugat oleh kemauan manusia. Negara adalah berdaulat


Teori Perjanjian Masyarakat - Pembentukan Negara

Teori ini disusun berdasarkan anggapan bahwa sebelum ada negara, manusia hidup sendiri-sendiri dan berpindah-pindah. Pada waktu itu belum ada masyarakat dan peraturan yang mengaturnya sehingga kekacauan mudah terjadi di manapun dan kapanpun. Tanpa peraturan, kehidupan manusia tidak berbeda dengan cara hidup binatang buas, sebagaimana dilukiskan oleh Thomas Hobbes: “Homo homini lupus” dan “Bellum omnium contra omnes”. Teori Perjanjian Masyarakat diungkapkannya dalam buku Leviathan. Ketakutan akan kehidupan berciri “survival of the fittest” itulah yang menyadarkan manusia akan kebutuhannya: “Negara yang diperintah oleh seorang raja yang dapat menghapus rasa takut”. Penganut teori Perjanjian Masyarakat antara lain: Grotius (1583-1645), John Locke (1632-1704), Immanuel Kant (1724-1804), Thomas Hobbes (1588- 1679), J.J. Rousseau (1712-1778). Wawasan Kebangsaan

Teori Kekuasaan - Asal Terjadinya Negara

Teori Kekuasaan menyatakan bahwa negara terbentuk berdasarkan kekuasaan. Orang kuatlah yang pertama-tama mendirikan negara, karena dengan kekuatannya itu ia berkuasa memaksakan kehendaknya terhadap orang lain sebagaimana dinyatakan oleh Kallikles dan Voltaire: “Raja yang pertama adalah prajurit yang berhasil”. Wawasan Kebangsaan

Teori Ketuhanan Pembentukan Negara

Timbulnya negara itu adalah atas kehendak Tuhan. Segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak-Nya. Friederich Julius Stahl (1802-1861) menyatakan bahwa “Negara bukan tumbuh disebabkan berkumpulnya kekuatan dari luar, melainkan karena perkembangan dari dalam. Ia tidak tumbuh disebabkan kehendak manusia, melainkan kehendak Tuhan”. Ciri negara yang menganut teori Ketuhanan dapat dilihat pada Konstitusi berbagai negara yang antara lain mencantumkan frasa: “Berkat rahmat Tuhan …” atau “By the grace of God”.Wawasan Kebangsaan

Teori Kenyataan Pembentukan Negara

Bilamana pada suatu ketika unsur-unsur negara (wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat) terpenuhi, maka pada saat itu pula negara itu menjadi suatu kenyataan.

Wawasan Kebangsaan

Pendekatan Faktual (Primer) - Pembentukan Negara

Wawasan Kebangsaan


Pendekatan faktual adalah melihat terjadinya suatu Negara berdasarkan kenyataan yang sebenarnya terjadi atau sudah menjadi pengalaman sejarah, seperti:

(1). Occupatie: pendudukan suatu wilayah yang semula tidak bertuan oleh sekelompok manusia/ suatu bangsa yang kemudian mendirikan negara di wilayah tersebut. Contoh: Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan pada tahun 1847.
(2). Separatie: Suatu wilayah yang semula merupakan bagian dari negara tertentu, kemudian memisahkan diri dari negara induknya dan menyatakan kemerdekaan. Contoh: Belgia pada tahun 1839 melepaskan diri dari Belanda, Bosnia dan Kroatia yang memisahkan diri dari Yugoslavia.
(3). Fusi: beberapa negara melebur menjadi satu negara baru. Contoh: Jerman Barat dan Jerman Timur yang melebur menjadi Jerman.
(4). Inovatie: Suatu negara pecah dan lenyap, kemudian di atas bekas wilayah negara itu timbul negara(-negara) baru. Contoh: pada tahun 1832 Colombia pecah menjadi negara-negara baru, yaitu Venezuela dan Colombia Baru.
(5). Cessie: penyerahan suatu daerah kepada negara lain. Contoh: Sleeswijk diserahkan oleh Austria kepada Prusia (Jerman).
(6). Accessie: bertambahnya tanah dari lumpur yang mengeras di kuala sungai (atau daratan yang timbul dari dasar laut) dan menjadi wilayah yang dapat dihuni manusia sehingga suatu ketika telah memenuhi unsur-unsur terbentuknya negara.
(7). Anexatie: penaklukan suatu wilayah yang memungkinkan pendirian suatu negara di wilayah itu setelah 30 tahun tanpa reaksi yang memadai dari penduduk setempat.
(8). Proklamasi: pernyataan kemerdekaan yang dilakukan setelah keberhasilan merebut kembali wilayah yang dijajah bangsa/ negara asing. Contoh: Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kehidupan Sosial Budaya Manusia

Wawasan Kebangsaan
Suhady dan Sinaga (2006) menyatakan bahwa istilah sosial budaya menunjuk kepada dua segi kehidupan manusia, yaitu segi kemasyarakatan dan segi kebudayaan.

a) Kemasyarakatan
Manusia bekerja sama dengan sesama manusia lain atau bermasyarakat dalam usaha beradaptasi dengan lingkungan yang akan berjalan baik dalam tertib sosial dalam wadah organisasi sosial yang merupakan produk sosial budaya dan merupakan wadah perwujudan dan pertumbuhan kebudayaan.
Dalam organisasi sosial manusia hidup berkelompok dan mengembangkan norma sosial yang meliputi kehidupan normatif, status, kelompok asosiasi dan institusi. Organisasi sosial juga mencakup aspek fungsi yang mewujudkan diri dalam aktivitas bersama anggota masyarakat dan aspek struktur yang terdiri dari struktur kelompok dalam pola umum kebudayaan dan seluruh kerangka lembaga sosial.
Setiap masyarakat mempunyai empat unsur penting yang menentukan eksistensinya yaitu struktur sosial, pengawas sosial, media sosial dan standar sosial.
(1). Struktur sosial
Berarti setiap masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok untuk memudahkan pelaksanaan tugas.
(2). Pengawasan sosial
Pengawasan sosial mencakup sistem dari ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan dan tindakan anggota masyarakat, pengetahuan empiris yang digunakan manusia untuk menanggulangi lingkungan dan pengetahuan empiris yang mengatur sikap dan tingkah laku manusia seperti agama, kepercayaan, ideologi dan sebagainya.
(3). Media sosial
Dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan sosial, diperlukan adanya sarana komunikasi dan relasi antar anggota masyarakat. Komunikasi dan relasi itu dilangsungkan dengan menggunakan bahasa dan alat transportasi.
(4). Standar sosial
Standar sosial merupakan ukuran untuk menilai tingkah laku anggota masyarakat serta menilai tingkah laku anggota masyarakat mencapai tujuan.
b) Kebudayaan
Kebudayaan merupakan keseluruhan cara hidup masyarakat yang perwujudannya tampak pada tingkah laku para anggotanya yang tercipta oleh banyak faktor organ biologis manusia, lingkungan alam, lingkungan sejarah dan lingkungan psikologi. Masyarakat budaya membentuk pola budaya antara satu atau beberapa fokus budaya yang dapat berupa nilai seperti keagamaan, ekonomi, ideologi dan sebagainya.

Pengertian sosial budaya adalah kondisi masyarakat / bangsa yang mempunyai nilai dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang dilandasi dengan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketahanan di bidang sosial budaya adalah menggambarkan kondisi dinamis suatu bangsa / masyarakat yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan pengembangan kekuatan nasional dalam menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara.

Wawasan Kebangsaan

Pendekatan Teoritis (Sekunder) - Pembentukan Negara

Wawasan Kebangsaan Pendekatan teoritis yaitu pendekatan dengan melihat bagaimana asal mula terbentuknya negara melalui metode filosofis tanpa mencari bukti-bukti sejarah tentang hal tersebut, melainkan dengan dugaan-dugaan berdasarkan pemikiran logis, seperti:
(1). Teori Kenyataan

(2). Teori Ketuhanan

(3). Teori Perjanjian Masyarakat

(4). Teori Kekuasaan

(5). Teori Hukum Alam

Baca Penjelasan Selengkapnya di sini >> TEORI TERBENTUKNYA NEGARA

Asal Terbentuknya Negara

Wawasan Kebangsaan
Seperti yang dikatakan oleh Jean Jacques Rousseau di dalam salah satu bukunya “Du Contract Social” (1712-1778) manusia adalah makhluk sosial yang hidup selalu bersama-sama dalam satu kelompok (Zoon Politicoon) untuk mempertahankan hidupnya. Untuk mempertahankan hidupnya tersebut mereka membutuhkan orang lain untuk saling membantu dan bekerja sama.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, kelompok manusia itu pada awalnya berburu binatang, sehingga selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Seiring dengan perkembangan waktu kelompok tersebut mulai hidup menetap pada suatu daerah tertentu dengan bercocok tanam dan beternak. Untuk memimpin kelompok, mulailah ditunjuk pemimpin kelompok yang terdiri dari perseorangan ataupun sekelompok orang. Kepada pemimpin kelompok diberi kewenangan-kewenangan di dalam menentukan aturan atau kaedah sebagai tatanan kehidupan dalam kelompok dan anggota-anggota kelompok diharuskan
1.Mampu menjelaskan tentang teori mengenai negara
2.Mampu menjelaskan tentang bentuk negara dan pemerintahan
3.Mampu menjelaskan tentang sifat-sifat negara
4.Mampu menjelaskan tentang unsur-unsur negara
5.Mampu menjelaskan tentang tujuan dan fungsi negara
6.Mampu menjelaskan tentang pengertian bangsa
mentaati aturan-aturan dan perintah pimpinannya, maka dalam kelompok itu telah terbentuk suatu kekuasaan/ pemerintahan yang sederhana. Anggota-anggota kelompok mengakui serta mendukung kaedah dan tatanan kehidupan serta peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemimpin mereka. Tatanan hidup dan peraturan-peraturan tersebut mulanya tidak tertulis dan hanya merupakan kebiasaan saja. Kemudian peraturan-peraturan hidup itu ditetapkan secara permanen dalam bentuk tanda-tanda tertentu yang kemudian dibuat secara tertulis.
Wawasan Kebangsaan - Jumlah mereka makin banyak, kepentingan-kepentingan dalam kelompok makin luas dan kompleks, kesulitan dan bahaya-bahaya dari dalam maupun dari luar mulai mengancam kehidupan kelompok mereka, sehingga untuk melindungi kepentingan mereka mulailah dibentuk suatu Negara melalui perjanjian di antara anggota kelompok tersebut, negara yang sangat sederhana pada masa itu. Untuk pembahasan lebih lanjut, marilah kita meninjau teori-teori tentang terjadinya Negara.

Terdapat dua pendekatan tentang terjadinya Negara, yaitu pendekatan faktual dan pendekatan teoritis.

> Pendekatan Faktual
> Pendekatan Teoritis

Pembukaan

Setiap negara pada hahekatnya memiliki wawasan kebangsaan, demikian juga dengan bangsa Indonesia memiliki wawasan kebangsaan yang didasarkan pada nilainilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Wawasan kebangsaan sebagai sudut pandang suatu bangsa dalam memahami jati diri dan lingkungan keberadaannya, pada dasarnya merupakan penjabaran dari falsafah bangsa, sesuai dengan keadaan wilayah suatu negara dan sejarah yang dialami bangsa itu. 
Wawasan kebangsaan menentukan cara suatu bangsa memanfaatkan kondisi geografis, sejarah, sosial-budaya dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional serta bagaimana bangsa itu memandang diri dan lingkungan baik ke dalam maupun keluar. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka makna dan hakekat serta pengejawantahan wawasan kebangsaan tersebut penting dipahami oleh setiap warga negara Indonesia.