Dalam konsep negara integralistik, yang diadasarkan pada ide Spinoza, Adam
Muller, dan Hegel, negara tidak untuk menjamin kepentingan individu maupun
kepentingan golongan tertentu, tetapi untuk menjamin kepentingan masyarakat
seluruhnya sebagai satu kesatuan yang integral.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan
masyarakat yang organis dan tersusun secara integral. Di dalamnya, segala
golongan, bagian, dan individu berhubungan erat satu sama lain.
Pemikiran ini
didasarkan pada prinsip persatuan antara pemimpin dan rakyat dan prinsip
persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini
cocok dengan alam pikiran ketimuran dan prinsip tersebut didasarkan pada
struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di desa-desa di
Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan
Indonesia sendiri (Marsillam Simanjuntak, 1997).
Struktur sosial Indonesia meliputi aliran pikiran dan semangat
kebatinan. Struktur kerokhanian bersifat persatuan hidup antara persatuan
kawulo-gusti. Persatuan dunia luar dan dunia batin, persatuan mikrokosmos dan
makrokosmos. Persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya. Inilah yang
disebut Soepomo sebagai ide atau konsep negara integralistik.
Dalam Susunan
persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi
semangat gotong-royong dan kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa
Indonesi. Hakekat Republik Indonesia adalah Republik Desa yang besar dengan
unsur dan wawasan yang modern.
Konsep negara integralistik yang ditawarkan oleh Prof. Soepomo
dalam sidang BPUPKI tersebut tidak begitu saja diterima oleh peserta sidang,
seperti Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Mohammad Yamin yang menentang
usulan tersebut. Mereka menuntut agar hak warga negara dijamin oleh
Konstitusi. Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin khawatir ide negara
integralistik yang ditawarkan oleh Soepomo tersebut akan memberi celah bagi
timbulnya negara kakuasaan.
Kekhawatiran mereka akhirnya membawa pada jalan kompromi
dengan diberikannya jaminan kepada warga negara untuk berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapat, yang kemudian dimasukkan dalam pasal
28 UUD 1945.